Seperti yang pernah saya ceritakan di tulisan lain, perjalanan saya untuk berhijab tidak mudah. Itu hampir 20 tahun lalu, ketika orang berjilbab kelihatan aneh bagi sebagian orang, termasuk dalam keluarga saya.
Lembar dan pecahan koin sisa uang saku yang saya kumpulkan berhasil membuat saya mengoleksi 5 buah blus lengan panjang dan beberapa rok, kulot, juga beberapa lembar jilbab.
Bahagianya saya ketika pada tanggal 17 Maret 1994 saya katakan kepada kedua orangtua bahwa saya akan berjilbab. Kali ini saya tak minta izin lagi. Tak perlu lagi saya minta izin, begitu pikir saya. Toh, saya yang akan mempertanggungjawabkan diri saya kelak di akhirat. Jadi kedua orangtua hanya mendapat pemberitahuan dari saya dan mereka tak berkata apa-apa lagi karena sudah tahu kekerasan hati saya.
3 bulan pertama berjilbab bukan hal yang mudah. Saya harus melewati hari demi hari, melawan gerahnya kota ini. Jam kuliah terasa panjang. Untung kami, para jilbaber punya tempat berkumpul yang aman dan untungnya juga, kampus Tamalanrea masih terasa sejuk. Sampai di rumah pun, saya tetap harus berjilbab kecuali di dalam kamar atau saat seorang adik sepupu laki-laki yang tinggal bersama kami sudah keluar rumah.
Yang paling sulit dilawan adalah keinginan untuk membuka jilbab! Entah kenapa selalu ada keinginan yang teramat besar untuk segera melepas jilbab yang baru seumur jagung saya kenakan. Di dalam diri saya terasa ada 2 kekuatan yang bertarung: kekuatan malaikat dan kekuatan setan!
Sepanjang lebih 90 hari itu saya lalui bersama hantu yang bergentayangan di dalam jiwa. Hantu yang tak hentinya menggelisahkan batin. Ia begitu menyebalkan! Tapi bisikan malaikat yang senantiasa menghibur, mengingatkan dengan gigih tentang kewajiban berjilbab bagi muslimah. Saya pun berusaha melawan hantu itu dengan mengingat-Nya.
Ajaib, lewat 3 bulan saya menemukan kedamaian. Hingga sekarang, setelah 20 tahun, saya tak pernah menyesal karena hijab membuat hati saya tenteram.
Mugniar Marakarma Makassar

Tidak ada komentar:
Posting Komentar